HAYOO.ID: Pembangunan yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila seharusnya mengedepankan kolaborasi antara berbagai pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga akademisi dan tokoh agama.
Kolaborasi lintas sektor menjadi kunci dalam merancang kebijakan yang tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Demikian disampaikan Wakil Ketua DPRD Jabar Ono Surono yang menyoroti penghapusan program hibah tanpa melibatkan pihak lainnya.
Kolaborasi dalam pembangunan seharusnya tidak sekadar menjadi jargon kosong yang terdengar dalam pidato atau tercatat dalam dokumen resmi.
BACA JUGA:Dedi Mulyadi Membangun Jabar dengan Rasa
Prinsip ini seharusnya menjadi landasan dalam penyusunan kebijakan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, mulai dari akademisi, pemerintah, hingga masyarakat itu sendiri. Namun, dalam konteks perencanaan pembangunan di Jawa Barat, implementasi prinsip kolaboratif ini dinilai masih jauh dari yang diharapkan.
Kolaborasi dengan 4 Aspek
Menurut Ono, kolaborasi harus dilandasi beberapa aspek penting: teknokratis, partisipatif, politis, serta pendekatan top-down-bottom-up. Aspek teknokratis mengacu pada kajian ilmiah dari perguruan tinggi, sementara partisipatif menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan, bukan hanya objek. Aspek politis, di sisi lain, mengakomodasi visi misi kepala daerah dan anggota DPRD. Sedangkan pendekatan top-down-bottom-up mendorong adanya komunikasi dua arah antara pemerintah pusat dan daerah.
Namun, dalam realitas 2025, prinsip kolaborasi ini justru menghadapi berbagai kritik. Salah satunya pada penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Barat, yang dianggap mengabaikan usulan masyarakat. Beberapa program tersebut antara lain hibah untuk pondok pesantren (ponpes), bantuan untuk organisasi kemasyarakatan, serta usulan dari kabupaten/kota.
Kondisi ini memicu reaksi keras dari masyarakat dan sejumlah fraksi di DPRD Jawa Barat. Mereka menilai keputusan penghapusan ini tidak hanya mengabaikan aspirasi publik, tetapi juga mencederai semangat kolaborasi dan prinsip musyawarah yang seharusnya menjadi dasar dalam setiap kebijakan pembangunan.
“Saya menggarisbawahi pentingnya verifikasi dalam hal hibah ponpes. Kalau ada pondok pesantren yang diduga memperoleh anggaran besar, hal itu perlu dipastikan. Jangan sampai anggaran dicoret begitu saja tanpa ada pembahasan dengan DPRD atau pihak terkait,” kata Ono Surono. Dia menambahkan bahwa meskipun hibah tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor politik, selama masih dalam koridor yang transparan, hal itu sah-sah saja.
Ono berharap pimpinan segera merespons kegelisahan masyarakat dan DPRD. Kemudian kebijakan yang ada bisa dirumuskan kembali agar lebih adil dan menyeluruh, dengan melibatkan berbagai pihak dalam proses pengambilan keputusan.
Lebih lanjut, Ono berharap agar semangat kolaborasi yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai Pancasila bahkan kearifan lokal Sunda, seperti Silih Asah, Silih Asih, dan Silih Asuh, dapat benar-benar diterapkan dalam setiap kebijakan pembangunan. Sehingga pembangunan yang dijalankan bisa menjawab kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat secara lebih merata.
(LIN)